Nasi
Ketika kita kecil, kita sering susah sekali untuk diminta makan. Hingga tak jarang ibu kita repot-repot menjanjikan ini itu, atau mengajak kita berjalan-jalan. Semuanya beliau lakukan untuk membujuk kita makan. Atau berdasarkan pengalaman saya sendiri, ketika kecil saya harus dibuat lupa jika saya makan, dengan disibukkan dengan mainan-mainan yang sangat menyita perhatian saya. Biasanya saya bermain masak-masakan atau nonton film kartun. Secara otomatis mulut saya akan terbuka jika ibu saya bilang “Haaa….” Dan saya sama sekali tidak pernah menyadari saya baru saja makan dengan lauk apa, bahkan saya lupa kalau sedang makan. Sungguh luar biasa yang beliau lakukan.
Menginjak usia 5 tahun saya sudah belajar makan sendiri. Dengan peralatan makan yang serasi dan lucu karena bergambar tokoh kartun. Saya masih ingat. Ketika saya berusia 6 tahun. Ibu saya mulai mengajarkan saya untuk makan dengan baik dan benar.
Bagaimana memegang sendok, garpu, pisau, atau memegang gelas, menyendok dan lain sebagainya. Juga mengajarkan saya bagaimana makan langsung dengan tangan. Betapa pentingnya cuci tangan sebelum dan setelah makan. Menyuap dengan tangan kanan, dan masih banyak lagi.Masuk usia SD saya sudah diajarkan untuk belajar menghabiskan makanan. Mengambil yang perlu dan dirasa cukup masuk ke perut, tidak berlebihan dan tidak terlalu kenyang. Pas. Sulit sekali mengajarkan hal tersebut kepada saya. Saya selalu menyisakan beberapa suap, atau menyisakan sayuran yang tidak saya sukai. Namun mereka tak bosan-bosannya mengingatkan saya. Terutama ayah saya. Beliau selalu mengingatkan saya untuk menghabiskan makanan saya. Alasannya lucu, “nanti kalau tidak habis makannya, ayam-ayam yang dibelakang bisa mati.” Sama sekali tidak ada relevansi secara eksplisit disana. Beliau mengingatkan saya hingga dipanggil Sang Kuasa. Tidak pernah bosan setiap hari.
Pengalaman saya tadi sore, (16 September 2010) mengingatkan saya terhadap pesan orang tua saya, terutama Ayah saya. Saya pergi bersama beberapa teman ke Takor Fisip. Kami memesan menu makanan yang sama, yakni Nasi Pecel Madiun. Kami duduk di bagian tengah dekat tangga. Dan kami mulai makan diselingi bincang-bincang ringan. Mulai dari menggosip hingga membicarakan tugas. Hingga akhirnya beberapa teman telah membalik sendok dan garpunya yang menandakan telah selesai. Ada dua orang dari kami yang masih menyisakan banyak sekali nasi, dan hanya menghabiskan seluruh lauknya saja. Saya lalu bertanya mengapa tidak menghabiskan jatah makan siangnya. Dan jawaban mereka adalah sudah kenyang.
Saya tidak membahas ini lebih jauh. Tapi lebih kepada merefleksikan terhadap diri saya sendiri. Betapa banyak orang diluar sana yang sangat kekurangan, baik uang, bahan pokok, ataupun sandang dan papan. Kami ada disini, seharusnya merasa beruntung. Perwujudannya dapat dilakukan dengan lebih bersyukur. Banyak yang bisa dilakukan untuk wujud syukur itu. Dan hal itu sangat simpel. Yakni jangan menyisakan makanan.
Mari saya ajak untuk menikmati keajaiban angka matematika sejenak. Jika, kita 1 juta orang saja makan tiga kali sehari, dan setiap kita makan kita menyisakan sebulir nasi, sudah berapa ton nasi yang bisa dibagikan kepada anak yatim dan kaun dhuafa? Saya pernah menghitung satu cup beras yang cukup untuk satu orang makan sekali, berisi 122 butir beras. Jika 1.000.000 : 122 = 8.196,721 maka jika 1juta orang menyisakan 1 butir nasi kita dapat memberi makan 8.196 orang. Itu jika satu butir saja. Jika satu sendok, yang kurang lebih berisi 30 butir, bergantung ukuran suapan. Maka ada 30.000.000 beras yang dibuang. 30.000.000 : 122 = 245.901,… Maka kita sudah bisa memberi makan hampir 250.000 orang. Pernahkah terbayang? Satu hal kecil sebenarnya berpengaruh besar?
Banyak yang bisa dipelajari dari sebulir nasi. Betapa besar perjuangan petani untuk menghasilkannya. Harus bekerja dari pagi hingga petang. Mengusahakan perawatan terbaik agar tidak berhama. Disiangi, dipupuk, dituai, hingga digiling untuk menjadi beras. Lalu jika kita beli nasi di warung. Pernahkan kita membayangkan jam berapa si empunya warung bangun untuk menyiapkan semuanya? Banyak yang harus kita hargai hari sebulir nasi tersebut. Satu benda kecil yang sering dipandang tak lebih dari pengenyang perut. Juga bagaimana perjuangan banyak orang hanya untuk memperoleh sesuap nasi. Kita bisa lihat di jalan-jalan raya, banyak anak kecil mengamen, jualan Koran, hingga mengemis. Orang orang bahkan rela mencuri. Atau rela berdesak-desakan hingga terinjak untuk menganti beras satu liter. Jika kita telah mengingat itu semua. Tegakah kita menyisakan satu saja bulir nasi dipiring kita? Semua bergantung kepada dari sudut pandang mana kita memandang.
No comments:
Post a Comment