The Last Message
Seorang anak pasti mendambakan kasih sayang penuh dari orangtuanya. Orangtua dekat dengan kita saja sudah kebahagiaan tersendiri yang tek ternilai harganya. Seorang akan sangat dekat dengan orang tuanya, bisa dengan Ibu saja, Ayah saja, atau keduanya. Sedangkan saya, saya sangat dekat dengan kedua orang tua saya karena saya adalah anak tunggal. Tak berapa lama setelah saya lahir, dua tahun kurang lebihnya, rahim ibu saya harus diangkat karena ada tumor ganas setelah kuret yang tidak bersih.
Saya mengagumi kedua orang tua saya. Saya berharap bisa menjadi seperti mereka. Orang-orang yang hebat. Saya dekat dengan Ibu dan Ayah saya ketika kecil. Mereka memanjakan saya disamping mendisiplinkan saya. Menyayangi saya disamping memberi tahu yang baik dan buruk. Mengajari semua yang saya bisa saat ini. Bernyanyi, bermusik, bahkan hingga memasak atau membenarkan talang air atau memasang pralon dank keran air.
Hingga suatu saat sebuah bencana menghampiri keluarga kami. Ayah saya divonis gagal ginjal dan sudah tidak lama lagi dapat bertahan hidup. Ketika itu saya kelas satu sekolah dasar. Mengetahui keadaan ayah saya, saya sedih bukan kepalang. Ibu saya dengan sangat tegar menyampaikan jika itu hanya kemungkinan terburuk. Jika bisa menemukan donor yang cocok Ayah akan baik-baik saja. Saya sangat lega mendengarnya.
Namun kami siap untuk kemungkinan terburuk. Saya habiskan waktu yang tersisa untuk bermain bersama ayah. Biasanya setelah Ayah saya cuci darah keadaannya bisa stabil dan bisa beraktifitas seperti orang sehat. Kamipun sering menghabiskan waktu bersama.
Kami pergi memancing ke Bendungan Atas dimana disana terdapat ikan-ikan besar dan tidak perlu membayar. Kami pulang membawa ikan besar lalu memasaknya berdua. Lalu kami jalan-jalan ke Jogja untuk mengantar pesanan kayu dengan truk. Kami bernyanyi sepanjang perjalanan. Dan masih banyak lagi momen bahagia.
Tak terasa sudah dua tahun ayah saya sakit, dan kami sudah tidak punya apa-apa lagi. Empat mobil kami yang salah satunya truk telah habis terjual. Juga sebuah rumah, hingga kami tinggal di tempat orangtua Ibu. Itu semua terjadi karena ayah saya cuci dara seminggu dua kali dan beberapa kali dirawat di ICU. Pernah juga cangkok ginjal, tapi ternyata tidak cocok dan kembali harus cuci darah. Kini lebih parah karena ginjal yang satunya jadi tidak berfungsi juga.
Satu minggu sebelum Ayah saya meninggal saya sempat menemani beliau cuci darah, ketika itu saya kelas tiga SD. Hanya kami berdua kali ini. Tanpa Ibu, karena Ibu harus menemani mahasiswi bimbingan skripsinya sidang. Saya jadi tahu jika darah itu didinginkan, dan sebelum ditransfusikan harus dihangatkan dulu. Saya jadi tahu cara mengoperasikan alat hemodialisis. Lalu saya menemani Ayah saya, kami mengobrol dan kami bercanda. Hingga tiba pada sebuah percakapan yang kurang lebih begini:
“Nduk, Ayah sudah terlalu merepotkan keluarga apalagi Mama. Nduk, kamu kan sudah besar sekarang. Ayah mau pesan sesuatu. Nduk, kalau ayah meninggal jangan merepotkan Mama ya nduk. Mama dijagain. Jangan sering-sering bikin Mama sedih karena kamu nakal. Jadi anak pinter biar bisa masuk SMP 1, terus SMA 1, terus bisa masuk UI. Mau jadi dokter boleh, jadi psikolog juga nggak papa. Tapi yang penting kamu harus mendoakan Ayah setiap hari. Belajar masak biar bisa jadi Isteri yang baik. Rajin sholat. Kalau kuat puasa, puasa senin kamis. Rajin ngaji. Terus jadilah orang hebat. Walaupun ayah sudah nggak ada, ayah akan tetap bangga ketika kamu sudah bisa jadi orang besar dan hebat. Inget orang hebat bukan dari seberapa banyak uangnya, seberapa banyak anak yatim yang disantuninya, tapi seberapa besar kamu bisa melakukan perubahan.”
Saat itu yang bisa saya lakukan hanya menangis dan menyalahkan Ayah saya terus menerus dan berharap ia menarik kata-katanya. Dan saya terlelap di kaki tempat tidur pasien setelah lelah menangis. Tapi saya sudah berjanji.
Seminggu setelahnya tepat dihari pertama ujian cawu III saya mendapatkan kabar jika Ayah saya meninggal. Lalu saya segera pulang dan menyalahkan semua orang karena tidak ada yang mau donor dari keluarga sekandung Ayah saya, Ayah jadi meninggal. Namun ketika Ibu saya tiba saya langsung menghapus air mata dan pura-pura tegar sambil menahan tangis. Karena saya tahu, isakan saya bagai godam yang akan menghantamnya keras. Ibu saya yang sudah tiga kali pingsan akhirnya bisa menyolatkan Ayah saya. Pandangan Ibu saya kosong, benar-benar terpukul.
Saya beberapa kali lari mencari tempat sepi hanya untuk menangis. Saya tahu sangat tidak mungkin mengeluarkan seluruh kesedihan saya dan berharap ada pelukan hangat dari keluarga saya. Saya tahu, jika saya harus merahasiakan kesedihan saya ini. Nanti saya merepotkan. Ayah tidak ingin saya merepotkan Ibu saya. Dan saya harus menepati janji saya.
Saya selalu ingat apa yang Ayah saya ajarkan. Rajin beribadah dan rajin belajar. Membangun mimpi saya menjadi orang hebat dari bata satu ke bata yang lain. Menambahkan semen. Menyusunnya dengan baik dan memastikan tidak akan rubuh. Melindunginya dari badai dan memastikannya selesai pada waktunya. Istana Keberhasilan Impianku.
Saya akan selalu memegang perintah dari ayah saya hingga akhir hayat nanti seperti yang sudah lalu. Saya telah masuk SMP 1 Magelang, lulus dari SMA 1 Magelang, dan masuk Fakultas Psikologi UI. Saya telah bekerja keras untuk itu. Dan saya akan bekerja keras terus hingga saya bisa mewujudkan impian saya yang saya bangun bersama ayah saya. Menjadi orang hebat. Karena orang hebat bukan dari seberapa banyak uang yang mereka dapatkan atau berapa banyak anak yatim yang mereka santuni, tapi seberapa besar membuat perubahan. Semoga mimpi saya bisa terwujud. Bukan hanya untuk diri saya sendiri, membuat Ayah saya bangga, tapi juga untuk membuat dunia ini lebih baik lagi.
Because I want to change the world!
No comments:
Post a Comment