Pages

Monday, December 27, 2010

Jurnal Kedelapan

jurnal ini jurnal paling cute yang pernah gue tulis. hahahahaha.... gimana nggak cute coba? ini cerita tentang gue, nyokap gue, ma adek gue. orangtua diseluruh indonesia harus belajar banyak dari nyokap gue yang paling super didunia! beliau orang yang uda ngajarin gue dasar-dasar yang bikin gue bs jadi apapun gue sekarang. yaaaa at least ga malu-maluin orangtua lahhhh... cekidot...
nulia jurnal ini gue sambil makan ager-ager loh... ^^v

Dibalik Agar-Agar
Keadilan bukan bagaimana suatu hal itu dibagi secara merata sama besar, tapi bagaimana suatu hal dapat diberikan sesuai dengan porsinya. Belajar bertindak adil tidak bisa hanya dipelajari dalam waktu singkat seperti kursus menyetir. Belajar adil membutuhkan waktu yang cukup lama dan harus sedikit demi sedikit. Belajar matematika, kita belajar mengenali angka terlebih dahulu, lalu menjumlah, mengurangi, mengalikan, belajar membagi, semuanya harus dikuasai sebelum kita belajar integral hingga kalkulus. Sama halnya belajar adil, kita diajarkan (oleh orangtua kita) adil terhadap diri sendiri, terhadap saudara, terhadap keluarga, sebelum pada nantinya kita belajar adil menghadapi kehidupan, menghadapi orang lain di ‘kehidupan yang sebenarnya’.
Itulah yang saya dapatkan sejak kecil, belajar adil. Orang tua saya berusaha mengajarkan nilai-nilai keadilan dalam kehidupan saya sejak kecil. Dimulai dari hal-hal yang sederhana seperti belajar adil terhadap diri sendiri, hingga adil terhadap orang lain.

Sejak kecil, orang tua saya mengajarkan saya untuk adil terhadap diri sendiri. Pernah suatu ketika, saya mogok makan karena tidak dibelikan mainan, dan yang dilakukan oleh ibu saya tidak mencoba merayu saya dengan makanan-makanan favorit saya, atau berusaha dengan segera membelikan mainan yang saya inginkan. Tapi ibu saya malah mendiamkan saya dan berkata, “Ya nggak makan juga nggak papa. Nanti kan kalau sakit Icha sendiri yang merasakan. Masuk rumah sakit, diinfus, makan makanan rumah sakit, minum obat-obat pahit. Hiiii… kalau mama sih nggak mau.” Dan semakin bertambahnya usia saya nasihat beliau sedikit termodifikasi menjadi, “Kalau nggak bisa adil sama diri sendiri bagaimana bisa adil sama orang lain?” Belajar adil memang harus dari lingkup terkecil, yakni diri sendiri.
Di rumah saya selalu ada makanan lezat setiap harinya, dan yang tak pernah dilupakan adalah agar-agar. Saya, ibu saya dan adik saya membuat agar-agar bersama-sama, menunggu hingga kenyal lalu memasukkannya kedalam lemari pendingin. Setelah dingin, Ibu saya memanggil saya dan adik saya untuk menikmatinya bersama-sama. Lalu ibu saya memberikan pisau kepada saya agar saya yang memotong dan membaginya. Tidak ada instruksi apapun dari ibu saya. Beliau hanya berkata, “Sekarang Icha yang memotong, buat Icha sama Rara.” Lalu saya membaginya dua bagian, satu bagian saya usahakan lebih besar dari yang lain. Tapi satu hal yang saat itu jadi pukulan telak untuk saya. “Karena Icha sudah yang membagi jadi sekarang giliran Rara yang memilih mau bagian yang mana.” Doooeeeengggg! Itu sebuah pukulan telak untuk saya, karena jelas Rara memilih bagian yang paling besar. Dan setelah itu Ibu saya hanya tersenyum. Lalu saya sadar kita tidak boleh berlaku curang dan harus berlaku adil kepada siapapun itu. Termasuk kepada saudara sendiri. Ibu saya memberikan giliran memilih kepada adik saya agar saya sadar, mencoba untuk tidak adil terhadap orang lain bisa saja berbalik kepada diri sendiri. Dan satu hal yang saya selalu ingat hingga sekarang. Dalam nilai-nilai keadilan bukan semata-mata ada kata ‘adil’, ‘seimbang’ atau sama rata, tapi saya juga diajarkan untuk menerima kekalahan, belajar memberi kesempatan kepada orang lain, dan belajar untuk tidak curang.
Sejak tragedi agar-agar itu saya belajar untuk selalu adil. Dengan belajar memahami orang lain, kita bisa belajar adil. Karena apa yang orang butuhkan satu sama lain berbeda bukan? Saya juga tidak lagi berlaku curang untuk menguntungkan diri sendiri. Karena kecurangan itu nantinya akan berbalik kepada diri saya sendiri, mungkin dalam bentuk yang lain. Tidak harus dalam bentuk kecurangan yang lain. Dan nilai terbesar dalam kisah agar-agar itu adalah kita harus bisa menerima kekalahan. Kalah sekali bukan berarti selamanya kita akan kalah, kita bisa belajar dari kekalahan untuk mencapai sebuah keberhasilan. Jangan terlalu menyalahkan lingkungan, nasib, atau orang lain. Saya selalu berkaca, apakah ada yang salah dalam diri saya hingga saya bisa kalah atau gagal? Apa yang harus saya lakukan untuk memperbaikinya? Karena selalu ada jalan keluar untuk setiap masalah.
Belajarlah adil kepada diri sendiri, sebelum belajar adil kepada orang lain. – My mom.

No comments:

Post a Comment