Tentang Syukur
Hari ini, tanggal 2 September 2010 seperti biasa saya naik Kereta Api Listrik dari Stasiun UI menuju Tebet. Kalau saya naik mobil bisa sampai satu setengah jam untuk sampai ke rumah saya di daerah Duren Sawit, Jakarta Timur. Hari ini ada sedikit yang berbeda. Biasanya saya naik KRL Ekonomi AC atau Ekspres, kali ini saya memilih naik Ekonomi. Saya berharap ada sesuatu yang dapat saya pelajari hari ini.
Seperti biasa kereta sudah penuh dan membuat saya harus berdiri. Saya berdiri didepan seorang ibu dan ketiga anaknya. Melalui perkenalan singkat, saya mengetahui nama ibu dan anak-anaknya yaitu Ibu Indah, Emi (6), Nina (2,5), dan Ramdan (9 bulan).
Dimulai dengan percakapan ringan seperti nama, alamat, pekerjaan, dan lama mereka tinggal di Jakarta, percakapan berlajut ke pertanyaan yang sedikit berat. Ibu tersebut mengeluhkan pendidikan di Jakarta.
“Kenapa jadi mahal ya biaya sekolah jaman sekarang? Padahal katanya pendidikan adalah hak dari masing-masing warga Negara. Saya masih bingung mbak. Masuk SD saja sudah mahal, apalagi untuk melanjutkan kuliah ya mbak. Pantesan Indonesia nggak maju-maju.”
Pernyataan sekaligus pertanyaan tersebut menggantung dalam pikiran saya. Saya kembali mengulang masa-masa saya sekolah, dari TK hingga sekarang. Saya merasa betapa saya adalah orang yang sangat beruntung. Kedua orang tua saya mampu membiayai pendidikan saya yang tidak sedikit. Tanpa mengeluh.
Saya mengingat kembali ke saat dimana saya lulus SD. Waktu itu saya berhasil masuk SMP favorit di kota saya, dan biaya masuknya dapat dikatakan tidak murah. Perbulan saya harus membayar SPP Rp 200.000,00, yang jika dikalikan 36 jadi Rp 7.200.000,00. Masih ditambah uang gedung Rp 3.500.000,00. Sekolah yang tidak pernah lepas dari buku membuat saya juga harus membeli beberapa buku. Lebih dari Rp 20.000.000,00 telah saya habiskan hanya untuk jenjang SMP.
Dijenjang SMU, saya harus membayar Rp 4.000.000,00 untuk uang gedung, IPP perbulan Rp 250.000,00 sehingga selama setahun total IPP saya Rp 9.000.000,00. Masih belum termasuk biaya buku, seragam, tugas-tugas, dan iuran-iuran jam tambahan. Lebih dari Rp 35.000.000,00 saya habiskan di SMU.
Begitu saya lulus, saya harus mengikuti beberapa tes agar dapat melanjutkan jenjang pendidikan saya. Tak kurang dari Rp 2.000.000,00 telah saya habiskan. Begitu diterima di Universitas Indonesia, saya harus membayar total biaya pendidikan Rp 15.700.000,00 dengan biaya persemester Rp 5.000.000,00 yang jika saya dapat lulus tepat waktu, menghabiskan dana tak kurang dari Rp 50.000.000,00. Betapa mahalnya ilmu di negeri ini.
Betapa beruntungnya saya dapat menikmati semua ini. Jika dibandingkan dengan orang-orang diluar sana yang kurang beruntung. Tidak dapat mengenyam pendidikan tinggi karena berbagai alasan. Namun, betapa tidak bergunanya uang yang berjuta-juta itu jika tidak diimbangi dengan keseriusan saya dalam belajar.
Banyak yang dapat saya lakukan untuk menunjukkan rasa syukur saya kepada Tuhan dan rasa terima kasih saya ke orang tua. Orang tua saya dapat dikatakan berjuang bersama dengan saya. Mendukung saya secara material dan non material. Tegakah saya mengecewakan mereka? Jawaban saya adalah tidak.
Betapa tidak, setiap malam Ibu saya bangun untuk berdoa. Setiap pagi membangunkan saya, dan menyiapkan sarapan, lalu pergi bekerja.
Salah satunya dengan serius dalam menuntut ilmu. Berusaha agar tidak mengecewakan orang tua dengan membawa laporan IP yang buruk. Dengan belajar sungguh-sungguh agar ilmu saya dapat bermanfaat bagi orang lain, sebagai bentuk rasa syukur saya tehadap Tuhan.
Sebagai seorang anak saya merasa bersyukur, karena saya dapat menuntut ilmu hingga perguruan tinggi, dapat menikmati fasilitas yang memadai, dan dapat merasakan pendidikan berkualitas seperti yang telah dan sedang saya rasakan. Sebagai wujud rasa syukur itu saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk dapat membahagiakan dan membanggakan kedua orangtua saya. Semoga apa yang saya cita-citakan dapat terwujud. Amin.
No comments:
Post a Comment